Opini  

Post-Truth Ditengah Vaksinasi Covid-19

Penulis: Ahmad Zainul Abidin

LAYARSULTRA.COM, OPINI

Pandemi Covid-19 ini sudah genap setahun lebih telah melanda Indonesia bahkan dunia. Upaya penemuan vaksin di berbagai negara menjadi hal yang sangat penting untuk membawa keluar negara dari pandemi Covid-19 ini. Namun situasi tersebut melahirkan dinamika baru  di kalangan masyarakat Indonesia, dimana dunia maya yang kerap digunakan sehari-hari yang menjadi salah satu pusat informasi, berisikan sampah informasi yang bertebaran sangat massif tanpa verifikasi dan konfrimasi.

Konon katanya masyarakat kita saat ini hidup pada era post-truth, yang mana pendapat masyarakat tidak dibentuk lagi berdasarkan fakta dan rasio, melainkan dibentuk oleh sentiment dan kepercayaan.

Istilah post-truth sendiri mulai diperbincangkan di negara Indonesia sejak siklus pemilu tahun 2019, dimana pada saat itu kubu Prabowo mengklaim kemenangan sebelum perhitungan selesai. Ketika ia kalah tentunya para pendukungnya menggaungkan narasi konspirasi kecurangan Pemilu. Meskipun dari kubu Prabowo tidak mampu menghadirkan bukti, namun hal itu tidak membuat para pendukungnya ragu. Justru para pendukungnya semakin yakin dan gigih dalam membela konspirasi ini.

Apa itu post-truth ?

Sebagaimana post-moderisme, post-strukturalisme dan masih banyak istilah ‘post’ lainnya. Konsep post-truth memiliki konsekuensi pada anggapan bahwa pernah ada erat truth, dimana kebenaran pernah mendominasi sebuah kepercayaan dan pembuatan keputusan di masyarakat.

Post-turth ini sendiri telah lama dipakai, yakni sekitar tahun 1992 oleh Steve Tesich, dalam tulisannya The Government of Lies dalam majalah The Nation, ia menulis “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan, kita ingin hidup di dunia post-truth.” Tulisan ini dimuat oleh Tesich saat membicarakan Perang Teluk dan Iran.

Post truth bahkan menjadi word of the year di kampus Oxford. Oxford sendiri mendefinisikan post-truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.

Nah kapan kemudian era post-truth itu terjadi ?

Kebohongan dan manipulasi nyatanya telah mendominasi sebuah kepercayaan dimana diskursus politik sejak awal peradaban manusia. Pada zaman era Romawi kuno misalnya orasi-orasi populis dalam senat lebih mementingkan kelincahan retorika dari pada ketepatan data. Artinya era kebenaran bisa dibilang tidak pernah ada, prasangka, emosi sejak dulu lebih mudah mendominasi pendapat publik daripada rasio.

Simpelnya, post-truth adalah era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya? Dengan memainkan emosi dan perasaan kita. Emosi dan kepercayaan bisa jadi variabel yang kuat banget untuk nentuin apakah sesuatu dianggap kebenaran atau bukan. Kesimpangsiuran informasi dan susahnya ngebedain mana fakta dan bukan ini sedikit banyak membuat kita punya keraguan sama kevalidan sumber informasi.

Baca Juga :  Ironi Tambal Aspal di Negeri Penghasil Aspal

Bahaya post-truth

Tidak bisa dipungkiri saat ini media sosial merupakan alat informasi yang jauh lebih bising dan riuh, hampir setiap menit dan setiap hari kita disuguhkan dengan informasi baru, baik foto, status yang selalu di update. Hal ini yang kemudian membuat kita semakin ketagihan untuk selalu menggunakan smart phone kapanpun dan dimanapun.

Saat ini informasi sangat cepat berubah, bergerak, bertambah serta berkembang biak. Arus ini yang kemudian di saat ini dimanfaatkan oleh kebohongan-kebohongan buatan yang akhirnya membuat kita merasa kalau kebohongan tadi adalah sebuah kebenaran. Disitulah kemudian sisi bahaya dari post-truth ini, kita akhirnya dibuat bingung mana informasi yang benar dan mana yang hoax. Biasanya post-truth ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang mana pembuat post-truth ini selalu bersahabat dengan berita hoax dan korbannya adalah masyarakat yang kemudian tidak suka menyimak secara teliti mengenai informasi yang kemudian diterima secara mentah-mentah.

Dengan menebarkan bibit-bibit kebohongan kedalam arus informasi yang sangat mudah ini orang-orang akan mengira bahwa berita itu merupakan sebuah kebenaran, belum lagi jika ditambah akun-akun yang dibayar yang memang sengaja menyundul atau berkomentar tentang berita hoax itu, maka makin percaya kita mengenai informasi tersebut.

Contohnya begini:
Pada saat pemerintah Indonesia pertama kali membuat pernyataan untuk melakukan vaksinasi massal terhadap warga Indonesia sebagai salah satu langkah guna menurunkan angka penularan Covid-19, lahir kemudian sebuah kelompok yang membuat pernyataan bahwa vaksin merupakan bagian konspirasi dan bahkan berbahaya untuk digunakan, padahal saat itu vaksinasi belum kemudian dilakukan, setelah kemudian dilakukan penyuntikan pertama yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, kelompok ini masih tidak percaya akan manfaat vaksinasi sehingga berita-berita hoax mengenai vaksinasi ini menganggap bahwa berita itu merupakan sebuah kebenaran, tanpa melihat kebenaran data dan rasio dalam melihat sebuah kebenaran.

Apa yang berubah ?

Alasan mengapa disinformasi beredar  lebih luas di masyarakat saat ini, bukan disebabkan oleh pandangan manusia yang bergeser dalam memaknai sebuah kebenaran melainkan bagaimana sebuah informasi tersebut diproduksi, disebarkan lalu dikonsumsi di tengah perubahan yang sangat drastis. Informasi yang awalnya hanya disebarkan melalui satu pintu oleh media massa dan pers, kini jauh lebih bebas disebarkan oleh media baru, pers bukan lagi gate keeper, karena media baru dan internet telah menjadi gate keeper baru di dunia yang lebih terbuka.

Media sosial seperti facebook banyak dituduh menyuburkan kamar gema kondisi ketika orang hanya menemui konten yang mengkonfirmasi prasangka dan kepercayaan mereka, meskipun informasi tersebut seringkali mengandung hoax dan disinformasi.

Salah satu alasan mengapa post-truth sangat mudah tersebar sangat cepat, dikarenakan seseorang senang untuk membagikan informasi-informasi yang paling optimal dalam takaran engagement ternyata bukan sebuah informasi yang paling akurat, melainkan informasi yang paling mendukung prasangka dan merangsang reaksi emosional.

Baca Juga :  Peran Penting Pemuda dan Pemerintah Dalam Membangun Daerah

Kita butuh alternatif dari sistem surveillance capitalism yang lebih ramah untuk informasi yang lebih sehat, ini merupakan salah satu pergeseran utama yang membentuk dunia kita saat ini yang sangat gurih yang disebut sebagai era post-truth, jika racun sebuah kebenaran media massa didominasi oleh kelompok kecil dalam menentukan sebuah kebenaran, racun kebenaran di era kita saat ini merupakan logika pasar yang mengeksploitasi kelemahan kognitif konsumen informasi.

Di saat yang bersamaan memahami kondisi saat ini dengan konsep post jurnalisme terdengar lebih optimis, kalau istilah post-truth menggambarkan perubahan ini sebagai krisis moral, sebagai kiamat kecil, post jurnaslime menggambarkannya sebagai sebuah perubahan struktur teknologi. Hal ini telah beberapa kali terjadi pada kita dengan bermunculannya teknologi mesin cetak,  radio serta perekam gambar.

Perubahan-perubahan ini memang mengubah nilai dan cara kerja masyarakat namun ia tidak mesti membuat dunia menjadi tempat yang lebih buruk, kita hanya perlu menyesuaikan diri dengan tantangan dan masalah baru yang muncul tanpa menyikapinya secara regresif.

Catatan : Penulis merupakan alumni IAIN Kendari dan sekarang menjabat sebagai Sekretaris LAZISNU Sultra. Untuk terhubung dengan penulis dapat langsung kontak ke nomor whatsapp 085333626411 atau melalui email : zainulabidinalfarisi@gmail.com 591

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *