Wilayah RT 21 yang hanya hamparan tanah tak berpenghuni, di dalam hutan kawasan Nanga-Nanga. (Foto/ist)
LAYARSULTRA.COM, KENDARI – Ada sesuatu yang ganjil di wilayah Kecamatan Baruga, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), khususnya di wilayah Rukun Warga (RW) 8, Kelurahan Baruga.
Wilayah itu tepatnya berada di kawasan hutan Nanga-Nanga yang bersebelahan dengan Lapas Perempuan Kendari, terdapat suatu wilayah yang disebut sebagai Rukun Tetangga (RT) 21. Sementara di tempat itu tidak ada satu pemukiman yang terlihat, melainkan hanya hamparan tanah lapang yang ditumbuhi semak belukar.
Padahal dalam aturan pembentukan RT dalam suatu wilayah harus berpedoman pada Surat Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2001 tentang syarat-syarat pembentukan lembaga di tingkat bawah kelurahan yang disebut Rukun Tetangga (RT), yakni salah satu syarat pembentukan RT dilihat dari tingkat kebutuhan masyarakat.
Dalam aturan tersebut, disebutkan untuk menjadi suatu RT minimal wilayah itu terdiri dari 30 Kepala Keluarga (KK) dan maksimal 60 KK. Itupun harus diusulkan melalui musyawarah warga di wilayah setempat.
Sebab pembentukan RT dalam suatu wilayah kelurahan seyogyanya untuk menjadi perpanjangan tangan bagi pemerintah setempat, khususnya dalam memberikan pelayanan di tengah masyarakat sehingga harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Melihat temuan tersebut, Ketua Aliansi Generasi Muda Sultra Bersatu (AGMSB) Muh. Ikhsan turut prihatin dengan kondisi ini. Ia menilai seharusnya pemerintah maupun pihak terkait tidak ikut melegalkan pembentukan RT yang sangat sarat administratif itu.
“Ini kan sudah pembohongan publik dan juga merugikan negara. Masa ada RT 21 di hutan, ini sama saja RT siluman. Karena ada nama RT tapi tidak ada KK atau warga yang tinggal. Parahnya, disitu lancar turun bantuan dari pemerintah. Baik bantuan sembako maupun alat pertanian,” ungkap Iksan, Rabu (16/2/2022).
Bahkan lebih ironisnya lagi, kata Iksan RT 21 yang konon dipimpin oleh Bakar itu berada di atas lahan hutan produksi yang berada di wilayah Nanga-Nanga.
“Ternyata ini hanya tameng saja, sehingga saudara Bakar memanfaatkan kawasan hutan produksi tersebut sebagai lahan pengolahan kayu. Ini jelas merugikan negara, aparat penegak hukum harusnya segera bertindak,” tegasnya.
“Dan anehnya lagi, Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Sultra seolah tutup mata melihat kondisi hutan yang telah dijarah secara liar itu. Dimana perannya kehutanan, Polhut dan lain-lain. Jangan sampai ini ada persekongkolan oleh oknum tertentu dengan saudara Bakar,” argumennya.
Iksan mempertanyakan mengapa tidak ada tindakan tegas dari Dinas Kehutanan Sultra, jika perambahan hutan sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.
“Apalagi jika melihat hasil verifikasi oleh Dishut Sultra sudah tiga kali justru selalu gagal. Artinya, kalau gagal terus berarti ada masalah serius. Seharusnya, pihak kehutanan mengambil sikap tegas,” imbuhnya.
Di tempat terpisah, Ketua RW 8, Kelurahan Baruga, Kecamatan Baruga, Juslan membenarkan adanya RT 21 tersebut. Awalnya ia mengatakan, jumlah KK di RT tersebut sekitar tiga KK. Selanjutnya ia kembali sampaikan bahwa ada tujuh KK secara keseluruhan.
“Jumlah RT di wilayah RW 08 sudah ada tiga, yakni RT 19, RT 20 dan RT 21,” katanya saat dihubungi via telepon.
Adapun jumlah total keseluruhan warga penduduk di tiga RT tersebut mencapai 80 lebih KK.
“Kalau jumlah KK ada 80-an, jumlah itu terdiri dari RT 19 sekitar 40 KK, RT 20 ada 30 KK lebih dan RT 21 terdapat 3 KK,” sebutnya.
“Oh ada lagi 4 KK di RT 21, ada pak Abas, pak Bagus, bu Vero dan Daeng Jumma. Jadi jumlah total di RT 21 ada 7 KK. Tapi saya kurang hafal, eh nanti saya anu pak, nanti kalau ada waktu kita ketemu nah,” ungkapnya sembari mengakhiri telepon.
Sebelum mematikan telepon, Juslan sempat mengungkapkan, jika pemukiman RT 21 adalah kawasan hutan produksi.
“Itu masuk hutan produksi yang kita dengar. Masa terbentuknya nanti saya cek karena masih jamannya pak Bisman Saranani. Saya juga menjabat sebagai RW sejak tahun 2001,” tuturnya.
(Redaksi) 2218