oleh
Habil Mokora di Konsel
Saya tidak menyandang predikat sebagai pengurus lembaga yang bergerak di bidang “Anti Korupsi”, bagi saya, mencegah korupsi dimanapun berada itu sudah lebih dari cukup.
Korupsi adalah tindakan seseorang atau bersama orang lain yang menyimpang dari ketentuan aturan dan sadar akan konsekuensi hukum.
Umumnya dalam kehidupan sehari-hari, korupsi dimaknai sebagai penyalahgunaan jabatan dan wewenang yang menimbulkan kerugian keuangan, baik keuangan negara, keuangan daerah maupun badan usaha dan lain lainnya.
Korupsi itu merusak tatanan hukum, politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, infrastruktur, pertahanan, keamanan dan lain-lainnya. Buktinya, tengok aja dimana korupsi ada, disitu pembangunan terbengkalai dan menimbulkan kerusakan di sekitarnya.
Korupsi sangat dekat dengan kolusi dan nepotisme. Kerjasama ketiganya, jadilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) berjamaah, sehingga disebut pula sebagai Kejahatan Luar Biasa.
Pemerintah secara khusus mengatur cara pencegahan dan pemberantasan perilaku korupsi yang dikategorikan sebagai Tindak Pidana dengan membentuk lembaga khusus lengkap perangkat hukumnya.
Korupsi merusak segala lini kehidupan dan pembangunan, wajar KKN dicegah dan diberangus hingga ke akar akarnya. Mencegah dan memberangusnya mesti kompak dan bersinergi, sebab ada beberapa lembaga negara yang berwenang melakukannya, misal KPK, Kejaksaan, Polri, BPK, BPKP, Inspektorat dan APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah).
Sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 hingga saat ini, perilaku korupsi bukannya menurun malahan lebih parah dan mengerikan dibandingkan era sebelum reformasi.
Beberapa tahun terakhir, dampak perilaku korupsi sangat terasa di bidang pemanfaatan Sumber Daya Alam khususnya sektor tambang dan perkebunan.
Dalam amatan penulis, kerugian negara akibat korupsi di sektor tambang dan kehutanan/perkebunan mencapai triliunan rupiah dibandingkan sektor lain misal pemerintahan, pendidikan, kesehatan, anggaran desa, transportasi yang jumlahnya dikisaran puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Sebut saja Indonesia Coruption Watch (ICW) tahun 2019 pernah merilis temuan korupsi sektor tambang sebesar 5,9 triliun dan pada tahun 2011 salah satu peneliti ICW mempublikasikan temuan kerugian negara yang fantastis disektor kehutanan/perkebunan senilai 273 triliun. Luar Biasa.
Irisan 3 sektor diatas begitu kuat karena terkait kebutuhan beberapa jenis izin di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup atau Kementerian ATR/BPN.
Bahkan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara pernah heboh menetapkan puluhan perusahaan tambang yang diduga melanggar hukum dan merilis kerugian negara mencapai 5,7 triliun. Lebih besar dari APBD Sultra 4,6 triliun.
Disisi lain, masyarakat berjibaku dengan dampak kerusakan lingkungan hidup yang patut diduga akibat aktivitas pengerukan material yang tidak menjalankan kaidah Pertambangan Berkelanjutan.
Di lingkar tambang, hampir tiap hari ada masyarakat yang menyuarakan protes dampak lingkungan adanya aktivitas penambangan diwilayahnya, bahkan kadang menimbulkan keributan yang sewaktu waktu mengganggu keamanan dan ketentraman hidup masyarakat
Karena fenomena korupsi berdampak secara sosial, maka melawan perilaku korup juga mesti dengan kesadaran sosial dan mendukung pihak berwenang untuk menegakkan hukum
Memerangi korupsi sama derajatnya Lawan Narkoba. sebab daya rusaknya sama. Ini agenda Bangsa yang hingga kini masih jadi beban
Selamat Hari Anti Korupsi Internasional (9 Desember 2023)
Penulis adalah :
- Pemerhati Kebijakan Publik
- Ketua BKAD Kec. Angata
- Ketua BPD Desa Aopa
- Pegiat Lingkungan Hidup